Tinjau Ulang Pendidikan – Anak-anak yang tinggal di lingkungan barak militer hidup dalam realitas yang sangat berbeda di bandingkan anak-anak pada umumnya. Bukan hanya karena ayah atau ibunya adalah bagian dari institusi pertahanan negara, tetapi karena atmosfer kehidupan yang mereka jalani sejak dini begitu kaku, tertib, dan di bingkai oleh aturan yang hampir tanpa celah untuk kelonggaran.
Di barak, bahkan tawa anak-anak pun seolah harus di sesuaikan dengan tingkat kebisingan yang “bisa di terima”. Ada aturan tentang jam bermain, jam tidur, dan bahkan batasan dalam bersosialisasi dengan anak-anak dari luar lingkungan militer. Mereka tumbuh dalam atmosfer yang mendewasakan lebih cepat, tetapi juga menyita hak-hak dasar masa kecil: bermain bebas, bereksplorasi tanpa pengawasan ketat, dan belajar dari kegagalan yang tidak langsung di beri label sebagai “tidak disiplin”.
Apakah kita masih bisa menyebut ini pendidikan yang sehat bagi anak?
Pendidikan formal di kalangan keluarga militer tidak jauh berbeda dari anak-anak lainnya: mereka bersekolah di SD, SMP, hingga SMA negeri atau swasta. Namun, perbedaan mencolok terjadi ketika pendidikan informal—yakni pendidikan yang di terima anak di rumah dan lingkungan sekitar—di warnai oleh struktur hirarkis militer. Ketika ayah atau ibu mereka berpangkat, bahkan pola didik di rumah seringkali menyerupai sistem komando.
Kepatuhan jadi mata uang utama, bukan lagi pemahaman atau penalaran kritis. Tidak sedikit anak-anak yang terbiasa menerima instruksi tanpa di ajak berdiskusi. Mereka jadi cepat tanggap, ya, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk belajar mengambil keputusan sendiri. Ironisnya, dalam dunia yang kini membutuhkan pemikiran kreatif dan fleksibilitas tinggi slot bet, anak-anak ini malah di bentuk untuk menjadi seragam—berpikir dan bertindak dalam cetakan yang sama.
Lantas, bagaimana jadinya generasi yang di bentuk seperti itu saat harus menghadapi dunia yang tak lagi hitam putih?
Ketegangan Antara Harapan Orang Tua dan Dunia Anak
Satu hal yang patut di tinjau ulang adalah harapan tidak realistis yang sering di bebankan pada anak-anak keluarga militer. Orang tua dengan latar belakang disiplin tinggi sering kali tanpa sadar menyeret anak mereka ke dalam ekspektasi militeristik: harus berprestasi, tidak boleh gagal, tidak boleh memalukan nama keluarga, apalagi institusi. Ini bukan lagi sekadar dorongan untuk menjadi anak baik. Ini paksaan yang di selimuti kebanggaan keluarga.
Anak-anak yang tak sanggup memenuhi standar tinggi ini sering kali mengalami tekanan mental luar biasa. Tapi tentu saja, dalam kultur militer yang kuat, bicara soal kesehatan mental dianggap kelemahan. Mereka di tuntut untuk “kuat”, tanpa tahu bagaimana cara menjadi kuat itu sendiri. Maka jangan heran jika banyak anak dari lingkungan barak tumbuh menjadi pribadi yang kaku, tertutup, atau bahkan penuh tekanan batin yang tersimpan rapat.
Barak: Rumah atau Benteng Emosional?
Barak bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah simbol, sistem, dan sekaligus penjara emosional bagi banyak anak. Tembok barak yang tinggi dan penjagaan ketat tidak hanya membatasi fisik, tetapi juga mengurung imajinasi. Anak-anak yang tinggal di sana cenderung memiliki ruang eksplorasi yang terbatas. Mereka tidak bebas bermain ke rumah teman sembarangan, tidak bisa berteriak sembarangan, bahkan harus paham etika ketika melewati pos jaga.
Apa yang hilang dari mereka? Spontanitas, rasa aman tanpa pengawasan, dan hak untuk bertindak sesuai naluri masa kecil.
Lebih jauh lagi, barak sering kali menjadi ruang homogen yang membentuk pola pikir seragam: semua harus disiplin, semua harus tertib. Perbedaan di anggap gangguan. Maka keberagaman karakter pun seolah di tolak secara diam-diam. Anak yang lebih ekspresif di anggap “bermasalah”. Anak yang kritis di anggap “melawan”.
Saatnya Menggugat Narasi Ideal Militer dalam Pendidikan Anak
Sudah waktunya kita bertanya dengan lantang: apakah sistem kehidupan militer layak diterapkan begitu saja dalam proses tumbuh kembang anak?
Disiplin memang penting. Tapi disiplin yang di terapkan tanpa kasih sayang dan ruang dialog justru membunuh potensi anak spaceman. Tidak semua hal bisa di capai lewat komando. Anak-anak bukan prajurit kecil. Mereka adalah individu yang butuh keleluasaan untuk mengenali diri, memahami dunia, dan membangun jati diri tanpa tekanan.
Pendidikan anak tidak bisa di seragamkan seperti barisan upacara. Ia harus lentur, adaptif, dan menyeluruh. Dan lingkungan barak, sejauh ini, belum memberikan ruang itu. Yang ada justru kebanggaan semu dari luar, tetapi gejolak tak terdengar di dalam.
Baca juga: https://nabiswa.com/
Mari hentikan romantisasi kehidupan di barak sebagai tempat “paling ideal” untuk membesarkan anak. Ideal bagi siapa? Bagi institusi, mungkin. Tapi belum tentu bagi anak itu sendiri. Kita perlu suara-suara baru, kebijakan yang lebih inklusif, dan pendekatan pendidikan yang manusiawi. Jika tidak, kita hanya akan terus mencetak anak-anak yang patuh, tapi hampa.